Minggu, 06 Januari 2019

CPNS ( Cerita Perjuangan Nasib Saya)


Minggu, 24 Oktober 2010.



Oh.. betapa nikmatnya telah ada hari minggu, yang karenanya, kebanyakan
orang biasa libur bekerja. Seperti halnya denganku, seragam warna pink
yang terlalu sering menyerap keringatku selama hari Senin sampai Jum’at,
yang sering dilanjut hari Sabtu untuk lembur itupun kutanggalkan di tempat
jemuran. Hari minggu juga telah memaklumi bangun siangku. Jika pada hari
kerja aku harus segera mandi setelah shalat shubuh untuk mengejar bus
jemputan karyawan, maka di hari minggu, saat-saat itu tergantikan oleh
tidur kedua, melamun, atau menghabiskan pulsa dengan cara menelfon
orang-orang yang jauh disana, terutama Ibuku yang selalu mencemaskanku
karena aku merantau. Beginilah yang namanya buruh pabrik, yang ber-tuan
orang Jepang di negeriku tercinta ini, di kawasan industri daerah
Bekasi.

Teringat dalam fikiranku, besok adalah hari Senin, hari dimana aku harus
mengambil kartu ujian seleksi CPNS di Ibukota meskipun aku harus berangkat
kerja dari pagi buta sampai jam 5 sore. Kartu ujian itu akan dipakai
sebagai syarat mengikuti tes tertulis di hari Selasa. Dan aku tidak
mungkin meninggalkan pekerjaanku selama 2 hari berturut hanya karena ada
kepentingan pribadi. Aku mencoba berunding dengan akal sehatku, dan kami
memutuskan untuk cuti hanya di hari Selasa dan mengambil kartu ujian
sepulang kerja di hari Senin karena kebetulan panitia seleksi memberi
layanan pengambilan kartu sampai jam 8 malam. Mungkin karena peserta test
berasal dari Sabang sampai Merauke.
Minggu sore, tepatnya pukul 17:00 WIB, aku niatkan untuk melakukan survei
lokasi pengambilan kartu yang juga merupakan lokasi test tertulis. Dan
mungkin lebih tepatnya adalah simulasi karena aku berangkat dari kantor
tempatku bekerja pada jam yang sama dengan jam pulang kerja.
Dengan motor pinjaman teman kantor, aku melaju menuju halte bus Mayasari
yang kata orang, bus itu akan mengantarku sampai depan gerbang lokasi
ujian. Ternyata begitu banyak pilihan bus Mayasari untuk menuju lokasi
tujuanku itu. Terima kasih Dinas Perhubungan darat, yang tidak membiarkan
para penumpang bus terlalu lama menunggu akibat terbatasnya keberangkatan
bus, batinku. Dengan nyaman, bus itu telah mengantarku sampai lokasi ujian
pada jam 7 malam, sehingga keputusanku pun semakin bulat untuk mengambil
kartu ujian sepulang kerja.
**
Senin sore pada jam pulang kerja, Bekasi menangis. Benar-benar hal yang
tak pernah terpikirkan olehku karena beberapa hari sebelumnya tak pernah
turun hujan. Apalagi kiriman malaikat Mikail itu turun bersama
teman-temannya, yaitu kilat yang berusaha meretakkan langit, petir yang
menggelegar mengejutkan jantung, dan angin kecil yang menumbangkan
beberapa pohon dan papan reklame di tepi jalan.
Ya Tuhan... haruskah kuterjang rasa dingin dan mencekam itu, batinku.
Apakah ini cobaan ataukah justru petunjuk untukku?, tanyaku yang tak
terjawab oleh siapapun. Maka yang pertama kali kulakukan adalah meminta
maaf pada Ibuku dalam batinku. Karena aku akan mengingkari janjiku
kepadanya yang tidak akan menempuh perjalanan disaat hujan disambut petir
dan angin. Maaf Bu...aku harus berperang dengan semua keadaan itu. Aku
yakin ini hanyalah kerikil kecil.
Masih dengan sepeda motor yang sama, pinjaman dari teman yang sama, jam
dan tempat berangkat yang sama, dan jalan yang sama dengan simulasi
kemarin sore, hanya keadaan dan langit yang berbeda. Kuawali dengan bacaan
Basmallah dan doa menempuh perjalanan, aku segera melaju di bawah naungan
jas hujan tipe batman yang sedikit bau karena lama tak dipakai. Di
perjalanan, beberapa kali aku disambut angin kecil yang dengan lincahnya
menghempas-hempaskan sayap batmanku. Tak jarang ketika sayap batmanku
terbuka, beberapa truk dan bus yang lewat juga menyapaku dengan cipratan
air berwarna cokelat. Di persimpangan jalan yang biasa macet, sayap
batmanku yang liar tiba-tiba terkait dengan kandang burung yang dibawa
oleh seorang pengendara motor yang juga berperang dengan kemacetan. Dan,
Krekkkkkkk.............. terdengar jelas di telingaku. Dengan begitu,
kemungkinan besar hanya kepala dan bagian leherku yang bisa dipastikan
kering.
Setelah setengah jam bergelut dengan kemacetan, akhirnya sampailah aku di
tempat penitipan sepeda motor depan halte bus Mayasari.
Alhamdulillah...ucapku lirih. Bergegas menuju halte dengan lari kecilku,
tanganku pun merogoh-rogoh kedalam tas dan kudapatkan payung yang menjadi
penghuni tetap tas gendongku itu.
Ternyata halte kecil di persimpangan itu penuh dengan orang-orang
berseragam karyawan yang tidak membawa payung. Aku hanya berdiri di tepi
jalan untuk menunggu bus Mayasari yang akan mengantarku. Semua sudah
berbeda, bus yang kemarin datang bertubi-tubi, susul-menyusul dan berebut
penumpang, kali ini tak ada satupun yang lewat. Kutoleh jam tanganku yang
basah, kuusap lembut dan kulihat jarum terpendek sudah menunjuk angka 6
tepat. Padahal seharusnya aku sudah naik bus paling lambat 30 menit
sebelumnya. Dari Pak Polisi yang mencoba mengusir kemacetan simpang itu
kuketahui bahwa tidak adanya bus yang menuju Jakarta karena terjebak macet
di jalan tol saat menuju Bekasi.
Terlintas dalam otakku untuk naik ojek, tapi hujan masih begitu deras dan
kupikir hanya tukang ojek yang gila yang mau mengantarku sampai Jakarta
Selatan. Akupun melihat taksi melintas, dan spontan kulambaikan tangan,
melipat payungku, kemudian merangsuk kedalam dengan tubuh basah kuyupku
meskipun aku hanya membawa uang 50 ribu rupiah.
Seorang Bapak tua yang menjadi sopir taksi itu segera melontarkan
pertanyaan wajibnya dengan ramah padaku, “Kemana ini Nak?”.
“Ke Simprug, Jakarta Selatan Pak, GOR Pertamina. Kira-kira butuh berapa
lama ya Pak?”
“Kalau normal sih 1 jam nyampe Nak, tapi kalau macet ndak tahu ya Nak, ke
Pertamina ya Nak? Ada keperluan apa malam-malam begini? “
“Ini Pak, saya mau ambil kartu peserta seleksi CPNS. Pengambilan kartunya
mulai jam 8 pagi sampai 8 malam Pak. Terus kemarin saya sudah survei
lokasi kesana berangkat jam 5 dari kantor, sampai disana jam 7 Pak,
makanya saya tidak ambil cuti, ini tadi pulang kerja Pak”, jawabku polos.
“Oh...sudah kerja,,,Bapak kira masih mahasiswa,,,,situ sudah survei
kemarin ya, sudah tahu jalan kesana berarti ya Nak? Soalnya Bapak tidak
tahu lokasi itu...”, kata sopir taksi itu sambil memutar-mutar lembut
stang bundarnya karena diluar, jalan sangat padat. Bukan hanya padat
mobil, motor dan orang-orang, tapi di sela-selanya masih dipadati oleh
arsiran air hujan yang tebal dan nampak tajam.
“Tapi kemarin surveinya naik bus Mayasari Pak, langsung turun di depan
lokasi, jadi saya ndak tahu persis jalan kesana Pak..”, jawabku sambil
memikirkan kebodohanku, mengapa aku tidak mengamati jalan dan petunjuk
menuju lokasi ketika survei naik bus.
“Oooo.... saya ada peta menuju lokasi Pak, kemarin sengaja saya print
ketika lihat pengumuman di internet”, susulku sambil mengeluarkan peta
ukuran kwarto dari tas ransel hitamku yang basah. Peta itu nampak lusuh,
sebagian basah karena kehujanan, dan berlekuk-lekuk karena dilipat di
dalam tas yang sesak oleh baju seragam kerja.
“Oiya,,, coba lihat Nak, kalau dari Jalan Gatot Soebroto ke arah mana...”,
kata Pak sopir taksi itu sambil sesekali melihat ke arah peta yang
kubentangkan.
Dan kami berdua sedang membicarakan peta itu, peta yang membuat
jalan-jalan menjadi seperti akar-akar yang bercabang di atas kertas putih.
Tanpa terasa, ketika kulihat jam tanganku, akupun kaget karena sudah pukul
19:00 WIB, padahal kami baru saja masuk pintu pertama masuk tol, yaitu
gerbang tol Bekasi Timur. Ya Tuhan, jam 8 aku harus tiba di GOR Pertamina,
mungkinkah 1 jam cukup untuk menempuh Bekasi – Simprug?.
Mungkin katak yang sedang menyambut hujan di tepi jalan pun juga tahu, itu
tidak akan mungkin. Apalagi ribuan mobil di jalan tol yang menghubungkan
Bekasi-Jakarta itu hanya merayap bahkan diam seperti mobil mainan yang
mogok.
Tiga puluh menit berlalu, pukul 19:30 WIB, taksi warna putih bergaris
merah yang kutumpangi hanya bergeser kedepan sekitar 6 meter. Sementara
aku masih terdiam dengan baju dan jaketku yang tak kunjung kering.
Sepatuku yang terisi air dan ketika kuinjak berkata “kecipuk-cipuk-cipuk”.
Kaos kaki putihku yang sudah berubah warna menjadi coklat karena beberapa
kali terciprat air di jalan ketika naik motor.
Dan akhirnya taksi yang kutumpangi itu berhenti, Bapak sopir yang
menurutku sangat sabar dan belakangan kuketahui berasal dari Indramayu itu
mematikan mesin dan keluar dari mobil. Kuamati dari dalam, lewat kaca
depan, beliau berdiri dengan rasa keingintahuannya tampak mengamati jauh
kedepan. Lantas ia kembali masuk ke mobil dengan wajah putus asa, dan
menatap kearahku.
“ Bagaimana ini Nak, sudah jam setengah delapan ya Nak? Pengambilan kartu
paling lambat jam delapan ya Nak, ini jalannya seperti ini, di depan sana
ribuan mobil berhenti, mesin udah dimatiin semua, sopir-sopirnya
ngrokok-ngrokok di luar. Bapak justru kasihan kamu Nak, sudah bayar ongkos
taksi mahal-mahal, nanti sampai Simprug sudah tutup dan ndak dapat kartu
ujiannya. Sudah bisa dipastikan jam sembilan pun juga ndak nyampe sana
Nak. Apa puter-balik pulang saja Nak?”
Aku masih terdiam menggigil tanpa jawaban sambil melihat ongkos taksi yang
sudah menunjukkan Rp 106.000,- meskipun kulihat dompetku hanya ada satu
lembar 50 ribuan. Gejolak di dalam hati tak bisa kuredam lagi, ingin
rasanya aku keluar dari taksi itu dan berjalan kaki. Tapi itu adalah
keputusan yang konyol, yang mungkin bisa membuatku pingsan di jalan tol.
Karena uang di dompetku tak cukup membayar ongkos taksi itu juga, akhirnya
aku memilih untuk tetap di dalam taksi. Tapi Ya Allah, saya harus
bagaimana? Haruskah aku putar-balik pulang tanpa kartu ujian dan tidak
mengikuti ujian besok pagi? Dan mengubur harapanku? Dan membiarkan mimpi
itu benar-benar hanya menjadi mimpi? Atau aku tetap melanjutkan perjalanan
ini?.
Ya Tuhan…. Bolehkah saya putar waktu ini menjadi sore lagi Ya Allah?
Tolong Ya Allah, jangan biarkan ada jam delapan malam kecuali hamba sampai
di Simprug, batinku memelas.
Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, bahkan aku tidak bisa mengenali
apa yang terjadi padaku ini sebuah ujian dari-Nya ataukah justru
petunjuk-Nya. Jika ini memang ujian yang berusaha menguji seberapa besar
usahaku, aku akan melaluinya. Tapi aku ragu, ataukah ini justru
petunjuk-Nya yang mengisyaratkan bahwa hanyalah kegagalan yang kudapatkan?
Seperti setahun yang lalu, kupaksakan mengikuti tes CPNS Daerah meskipun
sakit berat yang belakangan kuketahui, aku gagal!.
“Ah! Apa-apaan aku ini! Belum perang kok sudah menyerah! Aku tak mau
mencetak kekalahanku sendiri! “, gertakku pada diri pesimisku. Dan akupun
akan tetap melangkah, tak akan berhenti melangkah sampai Allah sendiri
yang akan benar-benar menghentikan langkahku.
Kuyakinkan dalam hatiku bahwa ini hanyalah ujian dari Allah. Ya dari Dia,
Dia yang mengujiku dengan sedikit masalah adalah Dia yang selama ini
membanjiriku dengan lautan nikmat dan cinta. Ketika beban yang kurasakan
begitu berat, maka aku harus bahagia karena Allah percaya punggungku akan
kuat memikulnya. Disaat harapku belum terwujud, seharusnya aku bahagia
karena Allah percaya aku tak akan berhenti berjuang dan memohon kepadaNya.
Tidak, saya tidak ingin pulang dalam keadaan belum berusaha. “Saya harus
ke Simprug malam ini Pak, semahal apapun tarifnya, saya bayar, nanti
tolong antarkan saya ke ATM”, jawabku kepada Bapak sopir taksi yang selalu
memasang wajah putus asa dan jenuh dengan kemacetan itu.
Akupun segera mencari cara untuk tetap bisa mendapatkan kartu ujianku.
Sempat terfikir minta saran ibu, bapak dan kakakku melalui ponsel, tapi
justru akan membuat mereka memikirkanku. “Seorang gadis lugu! Merantau
dari kampung Jawa! Malam-malam di Jakarta! yang sangat kejam dan penuh
kriminalitas! Pulang saja! Tak bisa ikut seleksi tak apa!”, kira-kira
seperti itu jawaban yang akan kuterima jika benar-benar menelfon mereka.
Kucoba hubungi teman sekampus waktu kuliah yang juga menjadi peserta
seleksi, tetapi keadaan memang mengharuskanku untuk berusaha mandiri.
Temanku itu cukup memberikanku info bahwa pengambilan kartu benar-benar
tidak bisa diwakilkan.
Telfon panitia! Yah! Aku harus telfon panitia sekarang juga untuk berterus
terang!. Segera kucari nomor ponsel panitia yang bisa dihubungi, di kertas
peta, di print out pengumuman. Aku pernah melihatnya. Tapi setelah kubuka
dan kuamati, angka-angka itu tak terbaca lagi karena telah luntur akibat
rembesan air hujan dari tas ranselku. Akupun tak kehilangan akal, segera
kubuka internet via ponselku, dan kutemukan nomor ponsel panitia yang bisa
dihubungi. Segera saja kusimpan dalam memori ponselku, lalu kutelfon.
“Maaf, pulsa Anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini....”,
jawaban dari ponselku yang lapar itu. Aku baru ingat bahwa pulsa yang
kubeli kemarin telah kupakai menelfon teman kantor untuk meminjam motor,
menelfon teman kuliah, lalu membuka layanan internet dan mengunduh
pengumuman yang didalamnya terdapat nomor ponsel panitia. Wajar kalau
habis!
Oh, masih ada satu ponsel lagi di anakan tas ransel. Dan ternyata hanya
bisa digunakan untuk layanan pengiriman pesan singkat (SMS). Tanpa
buang-buang waktu lagi, segera kuketik “ Pren, tolong isikan pulsa 50
ribu, penting, cepet ya. Bayar di kantor hari Rabu. Thanks.”
Dalam hitungan detik, akupun akhirnya bisa menghubungi panitia seleksi,
tepat pukul 20:00 WIB. Segera kujelaskan duduk permasalahannya setelah
kuucapkan salam.
“Maaf Pak, saya salah satu peserta seleksi yang belum mengambil kartu
untuk ujian besok pagi. Saya terjebak macet di jalan tol Pak. Tol
kebanjiran dan ada pohon tumbang ke jalan sehingga macet parah Pak.
Bagaimana Pak, tolong saya.”, ucapku polos.
“Oiya Dek, disini juga hujan deras dan macet Bu. Ibu nomor urut berapa?”,
tanya panitia.
“Nomor urut 756 Pak, atas nama xxxxx xxxxxxx”, jawabku dengan berusaha
sejelas mungkin mengatakannya.
“Oh...asal dari Jawa Tengah ya Dek, baiklah Dek, kami coba tunggu Adek sampai
jam 22:00 WIB ya Dek”, kata panitia itu dengan ramah dan membuatku cukup
lega.
Yang kutahu, setiap aku mengikuti seleksi masuk kerja, kuliah dan
sebagainya, yang namanya keputusan panitia tidak bisa diganggu gugat,
tepat, tak peduli dengan alasan apapun. Paling lambat jam 20:00 WIB, ya
selebihnya tidak dilayani. Syukur kupanjatkan pada-Nya yang Maha Menguasai
Hati, meluluhkan hati panitia untuk menerima alasanku dan memahami
keadaanku.
Sejak saat itu, aku mulai tidak setuju dengan kebanyakan orang yang
menyatakan bahwa semua PNS selalu mempersulit warga, tidak perhatian
kepada warga, dan pelayanan yang diberikan sangat mengecewakan.
“Ya Allah, bantu hamba terbang sebelum pukul 22:00 WIB ya Tuhanku...”,
doaku dengan harapan waktu 2 jam itu cukup untuk memerangi kemacetan.
Dengan tubuh kurusku yang menggigil kedinginan itu aku hanya bisa memuji
dan mengagungkan nama-Nya. Alhamdulillah, Subhanallah, Dia beri kami
kemurahan. Di setiap waktu kusebut nama-Nya memohon perlindungan, terutama
perlindungan dari putus asa.
Waktu terus berjalan, tapi taksiku tak kunjung jalan. Hanya merangkak
mengais demi secuil langkah. Bahkan Pak sopir taksi sudah terlihat bosan
keluar masuk pintunya, dan minta ijin merokok diluar seperti yang
kebanyakan para sopir lakukan disaat itu karena hujan sudah reda.
Tiba-tiba terdengar nyanyian dari ponsel setiaku, yang menandakan ada
panggilan. Ternyata nomor panitia, yang menanyakan dimana keberadaanku.
Maaf, maaf dan maaf yang selalu kukatakan kepada panitia.
“ Jarang ada panitia seleksi yang sebaik itu Nak. Oiya Nak, billing taksi
ini apa dimatiin aja ya Nak, kalo dibiarkan jalan terus, Bapak kasihan
kamu nanti bayarnya bisa nyampai lima ratus ribu Nak”, kata pak sopir
taksi yang mendengar pembicaraanku dan sekilas melihat billing taksi
ketika ia masuk mobil.
Untuk yang kesekiankalinya kuterima panggilan dari panitia yang
menanyakan, “Sampai mana Dek?”, kemudian “Sampai mana Dek?!”, kemudian
“Sampai mana Dek!!!!”, kemudian “Sampai mana Dek!!!!!!!!”.
“Sini Nak! Coba saya ngomong,,”, kata Pak sopir taksi seraya meminta
ponselku.
“Pak, tolong Pak... saya sopir taksi yang ditumpangi anak ini Pak. Tolong
tunggu kami Pak...kami dari sore terjebak macet di tol, benar-benar nggak
bisa jalan Pak. Padahal kami sudah selip kanan selip kiri. Tolong kasih
kesempatan Pak. Saya kasihan dengan anak ini, sudah kehujanan, basah
kuyup, sendirian, anak cewek, bayar taksi mahal, kasihan kalau sampai ndak
bisa ikut ujian. Tolong tunggu kami Pak. Tolong kasih dia kesempatan.
Tolong Pak...tolong...tolong Pak...”, ungkap Pak sopir taksi dengan cepat
dan nada memelas.
Air matakupun hampir taktertahankan lagi mendengar permohonan pak sopir
taksi kepada panitia itu. Namun tak lama kemudian, panitia kembali bicara
padaku dengan sapaan berbeda.
“Dik, sudah kami tunggu sampai jam sepuluh malam tapi kok juga gak
datang-datang. Apa begini aja Dik...kamu yang penting bisa keluar dari
tol, biar nanti dijemput panitia di pintu keluar tol. Eh, atau gini aja,
kamu keluar pintu tol, nanti ambil kiri dateng aja ke Kantor Pusat kami
yang cuma ratusan meter dari situ. Nanti biar diantar pegawai kami ke
Simprug naik motor, soalnya kalo naik mobil sama aja macet gak bisa
nyelip-nyelip.
Ya..gitu ya...”, jelas Panitia dengan nada solutif.
Tanpa pikir panjang, aku hanya mengiyakan. Beruntung aku juga sudah antisipasi punya peta
menuju kantor pusat yang dimaksud.
Aku dan sopir taksiku masih berperang dengan kemacetan. Dan kulihat
kekuatan Illahi telah meleburkan wajah putus asa Pak sopir, membuatnya
berhasil menyalip ratusan mobil yang putus asa. Semangat itu kulihat jelas
di wajah keriput dan tangan kuat nan lihai pak sopir taksi itu. Semangat
layaknya seorang bapak yang ingin memberikan apa saja yang diminta
anaknya.
“Berarti nanti gimana Nak?, Bapak antar situ sampai di kantor pusat itu
saja atau gimana?”, tanya Pak sopir kepadaku.
“Nanti kan saya dari kantor pusat diantar ke Simprug Pak, nanti saya
hubungi Bapak, kita mesti bertemu dimana, syukur-syukur nanti panitia yang
nganterin saya juga balik ke kantor pusat lagi, baru kita pulang ke Bekasi
Pak, gimana Pak? supaya saya juga ndak mesti cari taksi lagi, dan Bapak
juga tidak kosongan pulangnya. Oiya, Bapak ada ponsel Pak?”, jelasku.
“Waduh, Bapak ndak punya ponsel…tapi begitu lebih baik Nak. Oh iya, situ
kan ada 2 ponsel, gimana kalo satunya ditinggal di bapak Nak?, insyaAllah
bapak ndak bawa lari, catat saja plat nomor taksi bapak itu, nama bapak
Abdul Khadir, mangkalnya di Simpang Bekasi”, jelasnya dengan wajah yang
kuyakini itu ketulusan.
“Tuhan...yang Maha Melihat, hamba tahu Engkau melihat kami dan masalah
kami. Engkau melihat semangat pak sopir taksi. Engkau melihat panitia
seleksi yang rela menunda nyenyak tidurnya untuk menunggu kami. Engkau
juga melihat niat hamba Ya Allah…Hamba percaya Engkau tak akan
membiarkanku pulang dengan tangan kosong.
Jam sebelas malam sudah lewat, hampir jam 12 malam aku dan taksiku baru
keluar dari tol. Dengan modal peta yang kumiliki dan petunjuk panitia via
telfon yang sudah kulupa-lupa-ingat, kami mencari kantor pusat yang
dimaksud. Benar-benar tengah malam yang mencekam, hanya ada satpam di
setiap megahnya gedung yang kulewati. Saat kami yakin kami sudah dekat
dengan lokasi, aku dan pak sopir keluar dari taksi, berdiri, berjalan
dengan kaki kakuku, membaca setiap tulisan di dinding gedung-gedung yang
menjulang tinggi.
Akhirnya kami menemukannya setelah bertanya kepada seorang petugas
keamanan. Di kantor pusat itu, aku bertemu dengan 4 orang panitia yang
juga sebagai pegawai di kantor itu. Apa yang kulihat saat itu tak pernah
ada dalam bayanganku. Bahkan aku tak percaya, di ibukota ini masih ada
orang baik, dan masih ada PNS yang melayani sampai tengah malam. Jujur,
aku telah berburuk sangka ketika mereka mengisyaratkanku dengan bahasa
tubuh untuk datang pada mereka tanpa pak Abdul Khadir. Dengan was-was aku
berjalan menuju mereka. Sedikit basa-basi bertanya tentang kemacetan jalan
tol, akhirnya kuceritakan perjalananku dari Bekasi malam itu secara
singkat. Sedikit mencair rasa cemasku. Tapi di otakku masih membaca memori
tentang opini masyarakat terkait penyuapan jika ingin diterima menjadi
PNS. Entah jujur atau bohong, temanku pernah bercerita tentang
pengalamannya ditawari “tiket masuk PNS” di suatu instansi seharga 120
juta.
“Ah! Aku datang dengan niat baik!”, tegasku dalam hati. Tapi tiba-tiba
pegawai yang menelfonku itu terlihat seperti menahan apa yang ingin ia
katakan. Lalu ia menyuruhku segera mengambil kartu ujian di Simprug dengan
seorang pegawai diantara mereka, bapak yang saat itu mengenakan sepatu
boat tinggi.
Tapi lagi-lagi aku bingung untuk memutuskan ketika semua panitia yang baik
itu menyarankanku dengan berbisik, “itu taksinya bayar sekarang aja…kalau
nungguin kamu pulang dari Simprug, nanti kena uang tunggu, kamu bayarnya
mahal. Nanti kalau mau pulang ke Bekasi, cari taksi lagi aja…”.
Tapi aku lebih yakin untuk tetap pulang dengan pak sopir taksi yang juga
baik itu, Pak Abdul Khadir, selain aku tak cukup uang untuk membayar sewa
taksi saat itu. Maka satu ponselku kutinggal di Pak Abdul untuk komunikasi
selama kami terpisah.
Dengan motor yang dikendarai pegawai instansi itu, Pak Budi, aku
melanglang jalang dari Mampang ke Simprug. Jalan-jalan yang kami lewati
tak satupun kukenali. Bahkan yang kutemui hanyalah semak-semak dan lahan
kosong disamping kanan kiri jalan. Di tengah malam yang sepi dan gelap
itu, aku hanya bisa berdoa, “Selamatkanlah kami Ya Allah, hamba yakin
sekarang hamba bersama orang baik dan tulus”.
“Katanya kemarin minggu sudah survei lokasi ya Mbak?, masih ingat nggak
ini lewatnya mana?”, Tanya Pak Budi sambil sedikit memiringkan wajahnya
kearahku.
“Iya Pak, tapi saya kemarin naik bus dari Bekasi langsung sampai depan
gerbang Pak. Saya ndak tahu jalan-jalan ini Pak…”, jawabku jujur.
Sama-sama tak tahu jalan, kamipun sepakat untuk bertanya kepada seorang
penjaga malam sebuah perumahan yang sepi disana.
Beruntung, tak lama kemudian akhirnya sampailah kami di GOR Pertamina
Simprug, pukul 00:20 WIB. Diserahkanlah urusanku kepada satu-satunya orang
yang ada di GOR itu. Aku yakin beliau juga salah satu panitia seleksi
sekaligus pegawai karena kulihat ada papan nama beserta NIP tersemat di
baju dinasnya.
“Kamu Mbak yang ingin ambil kartu…, mari ikut saya!”, katanya sambil
mengantarku masuk ke apartemen Pertamina Learning Center.
“Bismillahirohmannirokhim…”, aku memasuki ruang tamu apartemen itu, lalu
duduk manis masih dengan badanku yang menggigil dan kulitku yang memutih.
Sementara seorang panitia yang berpakaian dinas itu tampak menelfon
seseorang yang lebih berwenang untuk memberiku kartu ujian.
Ternyata benar, tak lama kemudian keluarlah seorang bapak dari dalam
apartemen itu, mengenakan celana kolor pendek dan memakai kaos singlet
dirangkap jaket hitam. Tanpa basa-basi beliau langsung memotongkan kartu
ujianku. Kemudian beliau memintaku untuk tanda tangan yang kuketahui
sebagai tanda terima kartu ujian yang baru saja kuterima itu. Saat itu
kutoleh jam dinding bulat disana, pukul 00:30 WIB. Alhamdulillah ya Allah…
“Terima kasih banyak Pak…selamat malam…”, ucapku dengan senyum termanisku
kepada kedua Bapak yang tak sempat kukenal itu.
Tanpa ada kepentingan lain, aku pun segera keluar dari apartemen, dan
beruntung Pak Budi sedang menungguku di atas motor berplat merahnya.
Kami pun segera kembali ke kantor pusat. Di jalan raya yang banjir waktu
itu, kuberanikan diri untuk meminta tolong kepada Pak Budi agar mampir di
ATM center karena hanya 50 ribu rupiah yang kupunya. Tapi entah mengapa, 4
pos ATM center yang kudatangi semuanya Offline. Dan aku pun memutuskan
untuk mencari ATM center bersama taksiku nanti.
Tiga puluh menit berlalu, tibalah kami di kantor pusat kembali. Ya, masih
ada Pak Abdul Khadir dengan taksinya. Masih ada juga 3 pegawai yang
lainnya disana. Dan seorang pegawai yang sempat ingin mengatakan sesuatu
sebelum aku pergi ke Simprug itu akhirnya bicara.
“Dik, kamu mau pulang? Apa nggak sebaiknya kamu nginep disini?... kamu
bisa tidur di mushola…ini sudah jam satu malam, jalan tol nggak tahu masih
macet atau nggak, takutnya masih macet, kamu sampai Bekasi sudah
pagi…padahal kamu besok harus ujian di GOR Pertamina Simprug jam 7
pagi…dan yang perlu diingat, nggak boleh telat satu menitpun.”, jelas
beliau dengan wajah seriusnya.
Oh, itu saran yang sama dengan seorang pegawai berpakaian dinas di Simprug
tadi. Sempat berfikir sejenak, tapi sebagai seorang gadis tulen yang lugu,
dan mungkin kata mereka juga keras kepala, akupun memilih pulang ke
kontrakan di Bekasi.
“Trima kasih banyak Pak…trima kasih…mariii…assalammualaikum…”, sapaku
seraya meninggalkan kantor itu bersama sopir setiaku.
Alhamdulillah, jalan tol kearah Bekasi lancar. Saat itu benar-benar
kurasakan bahwa serangkaian perjalananku mengambil kartu ujian memang
sebuah ujian dari-Nya. Dan anehnya, ketika sampai di Bekasi, ATM center
yang pertama kudatangi juga bisa digunakan untuk menarik uang.
“Akhirnya sampai juga, jam 2 ini Pak… berapa Pak?”, tanyaku kepada Pak
Abdul Khadir, sopir pahlawanku malam itu.
“Dua ratus tiga puluh aja Nak..”, jawabnya setelah tampak menghitung dalam
angan-angannya.
“Sudah termasuk denda mobil pulang terlambat Pak?’, tanyaku lagi sambil
memberikan ongkos taksi itu.
“Sudah Nak, besok pagi jangan lupa untuk berangkat ujian tertulis ya Nak,
ujian niat dan kesabaran cukup hari ini, oke?”, katanya ramah.
“Siap Pak! Trima kasih banyak Ya Pak…”, kataku sambil berjalan pelan.
Pak Abdul juga segera pergi dengan taksinya.
Sesampai di kontrakan, aku cuci muka, kaki dan tanganku. Berganti pakaian
yang kering, mempersiapkan tas dan perlengkapan ujian tertulis nanti pagi.
Memasang selimut tebalku dan tak lupa kupasang alarm pukul 03:30 WIB. Ya,
aku harus tidur nyenyak selama satu setengah jam.
**
Alhamdulillah aku bisa mengikuti ujian tertulis meskipun dengan kondisi
mata susah melek, badan yang linu, kaki yang kaku dan tentu saja tak
sempat mandi. Sarapan tahu sumedang yang dijual dua ribu rupiah per bungkus di bus.
Setelah hari itu, akhirnya tumbang juga terkena typus bersamaan jadwal test selanjutnya.
Harus dirawat di RS Mitra keluarga bekasi,
tapi minta pulang demi ikut test.
**
Sebulan kemudian, temanku mengirim pesan singkat lewat ponsel,
“xxxxx gimana kabarnya? Pasti baik nih…Denger-denger kamu ketrima PNS
kemarin ya? Pake duit berapa?”
Jawabku, “Alhamdulillah baik, iya, kamu jadi mau yang 120 juta? Aku pake
duit 230 ribu, hehehee..untuk bayar ongkos taksi”.
xxx