Rabu, 19 Oktober 2011

Cerpen : Musuhku Adalah Diriku

Musuhku Adalah Diriku

Awalnya, kauucapkan kalimat itu dengan bahasa yang cukup susah dimengerti orang dewasa sekalipun dan mungkin hanya beberapa dari mereka yang paham maksudmu. Di luar batas dugaanku, kaucoba jelaskan dengan lugas. Kau mengatakan bahwa kau mencintai wanita hanya karena Allah, dan wanita itu adalah aku. Ya!, aku yang menurut pengakuannmu, sudah kauamati sejak Orientasi Pegawai Baru.

Aku yang kaukenal lebih dekat saat Diklat kedua di Jakarta selama 2 minggu. Yang hari pertamanya kau duduk di bangku belakangku dan sapa pertamamu adalah “Ndary anak ke berapa?”.
Dan kujawab pertanyaan anehmu itu, “Anak terakhir, ada apa Mas Fakhru?”.
“Oh, anak terakhir, manja donk...”, kutukmu.
“Iya, memang...aku manja”, jawabku mengiyakan penilaian cepatmu.

Dan wanita itu adalah aku, yang kaukenal melalui pertanyaan-pertanyaanmu. Ikut pengajian dimana? Zakat gaji dimana? Saudaramu berapa dan ikut pengajian dimana?. Aku, yang kautanyai pendapat tentang musik dan nyanyian, cara berpakaian, dan banyak lagi.

Dan wanita itu adalah aku, yang mempunyai kalkulator dengan merk, type, harga, bungkus bahkan struk pembayaran sama denganmu. Aku, yang tak bisa menerima telfon darimu karena ponsel kita beda operator, kemudian memberi alasan lewat pesan singkat, “SMS aja, ndak usah telfon, mahal lho...”. Dan sejak saat itu, kau selalu menolak panggilan telfonku dengan menjiplak alasanku, “...Mahal lho...”.
Dan yang lebih jelas lagi, wanita itu adalah aku yang sangat sederhana, lahir dari keluarga di bawah batas biasa, anak seorang petani desa, tingkat pendidikan dan agama yang sangat biasa, dan kecantikanku tak pantas diperhitungkan.

Tapi ternyata wanita itu hanyalah aku. Hanyalah aku, meski ada beberapa wanita pilihan yang meminangmu, lewat surat merah jambu yang kubaca langsung atas ijinmu. Padahal diantaranya adalah sosok Khadijah yang akan menjadikanmu Muhammad-nya.
Akhirnya aku mengerti, terkejut, berbunga (Red: memangnya mawar?) campur sedih dan entah apalah namanya. Karena pada saat itu pula, kau juga mengatakan bahwa perasaan itu tak ada restu dari ibumu. Dengan alasan yang menurut orang lain dangkal, tapi menurut kita mengakar, aku tidak se-kota denganmu.

Tak cukup dengan menolak pilihanmu, ibumu juga mengajukan pilihannya untukmu. Seorang wanita pilihan dari tetangga se-RT, yang sudah pasti jauh dikenal ibumu daripada aku. Tapi berulang kali kaunyatakan padaku, hanya aku pelangimu. Pelangi yang jauh disana dan tak dapat kau meraihnya. Dan berulang kali kutegaskan, sungguh aku tak ingin menjadi pelangi sekalipun itu indah.

Ya, aku pun harus mulai belajar apa arti ridho orang tua yang dalam firman-Nya merupakan ridho-Nya. Dalam-dalam aku tanamkan kedalam benakku, bahwa aku tidak akan menjauhkan surga di telapaknya dengan dirimu.

Lepas dari masalah kedaerahan, sebagai seorang Guru Agama, pastilah pilihannya bukan sembarang pilihan. Dan di depan kaca semakin kupahami, bukan diriku!. Bukan diriku yang masuk hitungan ibumu. Tuhan memang satu, kita yang tak sama. Dan derajat ketaatanlah yang membedakannya.

Anehnya, mengapa kita membiarkan harapan itu tetap ada. Dengan segala sifat semunya seakan kuat padahal lemah. Ya, seakan sekuat besi padahal selemah ranting kayu yang telah lapuk, yang siap patah kapan saja ketika ia jatuh. Bagaimana tidak? Kau selalu menyarankanku agar segera menikah, sementara kau tak rela. Kau mengajukan pria lain untukku sementara kau tak ikhlas.
“ Dik, Mas Abdi adalah laki-laki yang baik. Beliau siap menikah. Ayo Dik, nikah dengan Mas Abdi, biar aku tenang dan jelas harus melupakanmu....”, katamu seraya menjaga pandangan.
“Yakin nawarin Mas Abdi ke Ndary?! Yakin ikhlas?! Yakin rela?!”, kutukku sambil menatap matamu.

Tanpa jawaban kata-kata, dan hanya kutemukan air mata di wajahmu yang berusaha tegar. Aku tertawa dengan mata berkaca-kaca, kutahan dengan senyumku, tapi tak terbendung juga. Tidaaaaaakkkkkkk....seorang Ndary yang tomboi telah menangis!!!, terlebih kau, lelaki yang kukenal tabah selama ini.

“Apa Adik juga yakin nawarin Mbak Novi ke aku Dik? Yakin ikhlas? Rela??”, balasmu mengutukku.
“Aku ikhlas Mas, aku akan tetap datang di pernikahanmu. Percayalah, aku akan ikhlas.”, tegasku sambil mengusap air mata lalu memasang topeng ikhlas di wajahku.

Bahkan kau tetap mengunjungiku sekalipun aku sedang dikarantina di asrama diklat yang ketat dengan penjagaan petugas. Yang dengan alasan menjenguk istri, kau bisa masuk lalu bertemu denganku, di ruang tamu. Kemudian berjalan menuju warung bakso di seberang asrama. Kita berteduh di bawah payung kita masing-masing, karena kita tak mungkin sepayung berdua. Aku tahu batas itu, bukan mahram. Kaupakai payung biruku, dan kupakai payung merah muda yang kupinjam dari teman sekamar. Dan petugas yang berjaga di gerbang menyapa kita, “Silakan Pak, Bu...”. Aku rasa itu adalah kenekatanmu yang pertama. Kenekatan yang terukir dalam kenangan yang terlalu indah untuk dilupakan. Dan mungkin saja kenangan itu benar-benar hanya akan menjadi sebuah kenangan belaka. Kita pernah bersama!.

Dan tahukah kamu, aku merintih lemah saat kautinggalkan asrama?!. Terasa berat kunaiki tangga ke lantai 2 dengan gemuruh di dada. Langkah kakiku melayuh tak bertulang. Bukan hanya karena aku merasa kehilangan sosok imamku. Tapi karena sebuah pertanyaan besar, “Untuk apa kita bertemu?!, bukankah tak ada jalan lagi untuk kita?!”.

Bahkan sepulangku dari asrama, kau tiba-tiba mengabariku lewat pesan via ponsel, “Dik, aku sudah menemukan kos mu, aku di depan, ke toko buku yuk...”. Tanpa syarat, akupun menerima ajakanmu dengan perasaan yang tak bisa kugambarkan. Meskipun dengan jalan kaki kemudian naik angkot, sementara motormu menganggur di garasi kamarku. Aku tidak protes, karena aku tahu batas. Kita bukan mahram.

Kau juga menyarankanku untuk membenahi jilbabku yang transparan sekalipun kita di pertengahan jalan. Beruntung saat itu kita segera mendapati warung makan yang menyediakan toilet, sehingga aku bisa menumpang berbenah jilbab selagi kau makan.
Ketika di toko buku, kubaca sisi lainmu yang tak pernah kukenal selama itu. Kau mengajakku bercanda dan berkhayal manis diantara tatanan buku yang rapi.
“Buku itu bagus ya Mas, beli satu buat ngajarin anakmu nanti...”, kataku sambil menunjuk ke arah buku anak yang ada di depanmu.

“Mana anakku? Masih di perutmu...hmmm...”, jawabmu sambil tersenyum menoleh ke arah perutku seolah-olah kita ini pasangan suami-istri yang sedang mempersiapkan kelahiran anaknya.
Dan kita hanyut dalam khayalan yang terlalu manis penuh kepalsuan itu. Tersenyum manja disaat kita bersama, meski harus menangis semalam ketika sadar bahwa kita tak mungkin bersama. Semua yang kita rasakan bahagia tak lain hanya kebohongan. Kebohongan pada diri sendiri. Tak aneh jika sepulangmu aku hanya bisa memaki-maki diriku sendiri. Mengapa aku tak bisa menjauhimu, orang yang sudah jelas tak berpeluang menjadi separo agamaku!.

Aku mencoba berunding dengan akal sehatku. Dan aku menyimpulkan bahwa seharusnya kututup cerita ini dalam sepotong episode. Mengubur harapan dan menanami dengan rasa berkawan selamanya. Tapi lagi-lagi kita sama-sama tak mampu menutupnya. Aku tahu apa yang harus aku lakukan, namun menegaskan saja aku tak mampu. Pertemuan kita yang kuvonis sebagai pertemuan terakhir, masih saja disusul pertemuan-pertemuan selanjutnya. Entah mengunjungi toko buku lagi, membeli kacamata untukku, bahkan kau sempat merencanakan untuk survei rumah denganku. Sungguh, musuhku adalah diriku sendiri. Diriku sendiri yang membiarkan hatiku susah kukenali dan beberapa kali ragaku melarikan diri ke toilet. Apa hubungannya?

Tentu ada hubungannya! Karena apa???
Karena aku telah marah-marah kepada wastafel di toilet itu, melemparinya dengan pertanyaan-pertanyaan, mengapa aku harus membodohi akal sehatku dan kau harus mengeluarkan kalimatmu? Kalimat yang membuatku terbang tinggi dan menjatuhkanku ke bumi setelah itu. Mengapa? Mengapa aku plin-plan dengan kata ikhlasku? Ikhlas hanya ada di ujung bibir yang bohong dan tidak ikhlas di hati. Mengapa aku kalah dengan diriku?. Aku marah-marah sepuasku, menelan emosi itu bulat-bulat karena aku memang sendiri di depan wastafel itu. Tapi apa kata wastafel?

Katanya, “Ingat pesan Pak Haji Baiq!!! Sesungguhnya dia yang marah adalah dia yang lemah. Karena hanya orang yang lemah lah yang tak mampu membawa dirinya untuk tetap dalam batas kendalinya.”.
Aku hanya mengangguk tanpa perlawanan kepada si wastafel itu, karena apa? tentu saja karena aku ingin layak dibilang masih waras. Ya, sebab orang waras pasti bicara pada orang, bukan pada wastafel.

Aku tidak ingin menyaksikan kebodohan diriku itu lama-lama di depan kaca wastafel, jadi aku memutuskan untuk segera keluar dari toilet itu.

Innallahama’ashobirin...Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang sabar.

Ya, inilah aku yang sedang belajar praktek tentang sabar, entah ada berapa pokok bahasan.
Perlahan aku mulai paham, perdetik aku mulai mengerti dengan ditunjukkannya akun facebook yang terblokir. Kuberi jempol untuk diriku sendiri karena aku tak mungkin memberi jempol pada akun terblokir itu khan?

Aku ingat, itu janji yang akan kautepati jika pada waktunya kau tak tega melihat status-statusku bermunculan. Status-status patah hati, kekecewaan, kesedihan yang mendalam, kesepian yang mencekam, kerinduan yang merajang, dan ketidakmampuanku mengendalikan diriku. Ya, diriku yang menerima kabar bahwa kau segera menikah, melabuhkan penantianmu pada seorang wanita selain aku.

“Afwan Dik, hanya ingin men-tabayun-kan kalimat beberapa hari yang lalu (waktu kutelfon) yang masih mengganjal di pikiranku. Aku sempat mengucap kalau perasaan memang benar, aku mencintai Adik. Bahkan, lebih tak terbendung lagi sampai sekarang. Dan aku kemarin menunggu luluhnya hati Ibu, tapi kalau menikah tak bisa berharap banyak, itu artinya aku yang membatasi harapan itu karena takut terlalu mengecewakan. Karena kalau menikah tergantung iya/tidaknya orang tua. Dulu, jalan jodoh Ibu nurut dengan Eyang. Sebenarnya dulu Ibu menyukai orang lain, bukan Bapak.
Mungkin itu yang diberlakukan padaku sekarang. Afwan sekali Dik, insyaAllah, dalam hitungan bulan aku akan menikah dengan wanita pilihan Ibu. Bukan pilihanku. Demi Allah, sampai saat ini aku hanya mencintaimu. Mungkin keikhlasan kita sedang diuji Dik. Afwan Dik...”, ketikmu dalam pesan via ponsel yang menurutku bukan pesan singkat lagi, tapi cerita pendek.

“Barakallah Mas, undangannya ditunggu, insyaAllah aku akan memenuhi janjiku untuk tetap datang di acara pernikahanmu...”, jawabku singkat.

Ya Tuhan...ternyata Engkau benar-benar cepat mengabulkan doaku..

Kali ini aku tak marah-marah pada wastafel, tapi pada seorang wanita biasa yang merasa dirinya tegar. Kau tahu siapa?
Aku!

Dan aku tak punya alasan untuk menangis, karena ini memang doaku. Dengan begitu kaukerjakan separo agamamu dengan menikah karena Allah, juga bhakti pada orangtuamu. “Semoga kau bahagia Mas Fakhru”, kalimat yang selalu keluar dari batinku dimanapun aku berada. Di kamar penuh makanan yang tak kunjung kumakan. Di dalam mobil yang teman-teman kerjaku asyik bercanda ria. Di depan komputer yang seharusnya aku bekerja. Bahkan di kamar mandi yang seharusnya aku sibuk mengurus badan.

Ini keputusan yang sangat valid. Dengan begitu kau tak akan lagi mengingatku dan berharap akupun juga begitu, melupakanmu!. Tapi percayalah itu tak akan mungkin terjadi, terutama karena kita ini teman satu instansi.

Ya! Kita teman satu instansi. Yang semua teman-teman kita satu angkatan tahu bahwa kita saling menyukai. Hah...”menyukai”? kata yang sulit untuk kuakui di depan teman-teman dan terpaksa aku tulis dengan lugas untuk membuat orang lain mengerti isi sebuah cerita.
Selamat menempuh hidup baru Mas Fakhru.


Minggu, 07 Agustus 2011

Cuplikan Kisah Tidak Teladan : Musuhku adalah Diriku

Awalnya, kauucapkan kalimat itu dengan bahasa yang cukup susah dimengerti orang dewasa sekalipun dan mungkin hanya beberapa dari mereka yang paham maksudmu. Di luar batas dugaanku, kaucoba jelaskan dengan lugas. Akhirnya aku mengerti, terkejut, berbunga (Red: emang mawar?) campur sedih dan entah apalah namanya. Karena pada saat itu pula, aku harus mulai belajar apa arti ridho orang tua yang dalam firman-Nya merupakan ridho-Nya.

Anehnya, mengapa kita membiarkan harapan itu tetap ada dengan segala sifat semunya seakan kuat padahal lemah. Ya, seakan sekuat besi padahal selemah ranting kayu yang telah lapuk, yang siap patah kapan saja ketika ia jatuh.
Aku mencoba berunding dengan akal sehatku, dan aku menyimpulkan bahwa seharusnya aku segera menutup cerita ini dalam sepotong episode. Tapi lagi-lagi kita sama-sama tak mampu menutupnya. Aku tahu apa yang harus aku lakukan, namun menegaskan saja aku tak mampu. Sungguh, musuhku adalah DIRIKU sendiri. Diriku sendiri yang membiarkan hatiku susah kukenali dan beberapa kali ragaku melarikan diri ke toilet. (Red: apa hubungannya?). 

Tentu ada hubungannya! Karena apa???
Karena aku telah marah-marah kepada wastafel di toilet itu, melemparinya dengan pertanyaan-pertanyaan, mengapa aku harus membodohi akal sehatku dan kau harus mengeluarkan kalimatmu, Mengapa? Mengapa aku plin-plan? Mengapa aku kalah dengan diriku?. Aku marah-marah sepuasku karena aku memang sendiri di depan wastafel itu. Tapi apa kata wastafel?

Katanya, “Sesungguhnya dia yang marah adalah dia yang lemah. Karena hanya orang yang lemah lah yang tak mampu membawa dirinya untuk tetap dalam batas kendalinya.”.
Aku hanya mengangguk tanpa perlawanan kepada si wastafel itu, karena apa? tentu saja karena aku ingin layak dibilang masih. Ya, sebab orang waras pasti bicara pada orang, bukan pada wastafel.

Aku tidak ingin menyaksikan kebodohan diriku itu lama-lama di depan kaca wastafel, jadi aku memutuskan untuk segera keluar dari toilet itu.
Innallahama’ashobirin...Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang sabar.
Ya, inilah aku yang baru belajar praktek tentang sabar, yang mungkin ada 4 sks. insyaAllah lulus dengan predikat sangat memuaskan.

Perlahan aku mulai paham , perdetik aku mulai mengerti dengan ditunjukkannya akun fb yang terblokir. Aku ingat, itu janji yang akan kautepati jika pada waktunya kau tak tega melihat status-statusku bermunculan. Salam Ingat, Wahai jiwa yang menepati janji... 

Aku beri jempol untuk diriku sendiri karena aku tak mungkin memberi jempol pada akun terblokir itu.
Ini keputusan yang sangat valid, terkalibrasi dan mendapat akreditasi dari BAN PT (Badan Akreditasi Nasional Pengawuran Tinggi).  

Maaf jika ada kesalahan, karena saya hanyalah manusia biasa yang kebetulan bernama Titi, yang kadang bikin seneng, kadang bikin sebel, kadang bikin nasi liwet.
Trima kasih banyak, sebanyak bayi di dunia.

Note : tulisan ini saya persembahkan untuk semua hamba Allah yang telah menyebabkan saya ingin tinggal lama di bumi. Terutama, teman-teman yang kurang bahan bacaan, meong, jangkrik, dkk.   

Serpong, (sepertinya tanggal) 6 Agustus 2011

Selasa, 19 Juli 2011

WATCH

Mari belajar tentang bagaimana cara menyatakan waktu dalam bahasa Inggris.
Catatan :
Use o'clock only at the full hour.
Example: 7:00 - seven o'clock (but 7:10 - ten past seven)

In English ordinary speech, the twelve-hour clock is used.
Beispiel: 17:20 - twenty past five
For times around midnight or midday you can use the expressions midnight or midday / noon instead of the number 12.
Beispiel: 00:00 - midnight
Beispiel: 12:00 - midday or noon

To make clear (where necessary) whether you mean a time before 12 o'clock noon or after, you can use in the morning, in the afternoon, in the evening, at night. Use in the morning before 12 o'clock noon, after 12 o'clock noon use in the afternoon. When to change from afternoon to evening, from evening to night and from night to morning depends on your sense of time.
Example: 3:15 - a quarter past three in the morning OR a quarter past three at night

More formal expressions to indicate whether a time is before noon or after are a.m.
(also: am - ante meridiem, before noon) and p.m. (also: pm - post meridiem, after noon). Use these expression only with the formal way of telling the time.
Example: 3:15 - three fifteen a.m.
It is not usual to use a.m. and p.m. with past/to.
Example: 3:15 - fifteen minutes past three OR a quarter past three
American English

Beside past Americans often use after.
Example: 06:10 - ten past/after six
But: in time expressions with half past it is not usual to replace past by after.

Beside to Americans often use before, of or till.
Example: 05:50 - ten to/before/of/till six

Ringkasan Tenses

Tabel Tenses
Disini saya sebutkan bentuk-bentuk tense dengan contoh kalimat positif, negatif maupun pertanyaan. Semoga mudah dipahami.

tense Affirmative/Negative/Question Use Signal Words

Simple Present
A: He speaks.
N: He does not speak.
Q: Does he speak?  action in the present taking place once, never or several times
 facts
 actions taking place one after another
 action set by a timetable or schedule always, every …, never, normally, often, seldom, sometimes, usually
if sentences type I (If I talk, …)

Present Progressive
A: He is speaking.
N: He is not speaking.
Q: Is he speaking?
 action taking place in the moment of speaking
 action taking place only for a limited period of time
 action arranged for the future at the moment, just, just now, Listen!, Look!, now, right now

Simple Past
A: He spoke.
N: He did not speak.
Q: Did he speak?
 action in the past taking place once, never or several times
 actions taking place one after another
 action taking place in the middle of another action yesterday, 2 minutes ago, in 1990, the other day, last Friday
if sentence type II (If I talked, …)

Past Progressive
A: He was speaking.
N: He was not speaking.
Q: Was he speaking?
 action going on at a certain time in the past
 actions taking place at the same time
 action in the past that is interrupted by another action when, while, as long as

Present Perfect Simple
A: He has spoken.
N: He has not spoken.
Q: Has he spoken?
 putting emphasis on the result
 action that is still going on
 action that stopped recently
 finished action that has an influence on the present
 action that has taken place once, never or several times before the moment of speaking already, ever, just, never, not yet, so far, till now, up to now

Present Perfect Progressive
A: He has been speaking.
N: He has not been speaking.
Q: Has he been speaking?
 putting emphasis on the course or duration (not the result)
 action that recently stopped or is still going on
 finished action that influenced the present all day, for 4 years, since 1993, how long?, the whole week

Past Perfect Simple
A: He had spoken.
N: He had not spoken.
Q: Had he spoken?
 action taking place before a certain time in the past
 sometimes interchangeable with past perfect progressive
 putting emphasis only on the fact (not the duration) already, just, never, not yet, once, until that day
if sentence type III (If I had talked, …)

Past Perfect Progressive
A: He had been speaking.
N: He had not been speaking.
Q: Had he been speaking?
 action taking place before a certain time in the past
 sometimes interchangeable with past perfect simple
 putting emphasis on the duration or course of an action for, since, the whole day, all day

Future I Simple
A: He will speak.
N: He will not speak.
Q: Will he speak?
 action in the future that cannot be influenced
 spontaneous decision
 assumption with regard to the future in a year, next …, tomorrow
If-Satz Typ I (If you ask her, she will help you.)
assumption: I think, probably, perhaps

Future I Simple
(going to) A: He is going to speak.
N: He is not going to speak.
Q: Is he going to speak?
 decision made for the future
 conclusion with regard to the future in one year, next week, tomorrow

Future I Progressive
A: He will be speaking.
N: He will not be speaking.
Q: Will he be speaking?
 action that is going on at a certain time in the future
 action that is sure to happen in the near future in one year, next week, tomorrow

Future II Simple
A: He will have spoken.
N: He will not have spoken.
Q: Will he have spoken?
 action that will be finished at a certain time in the future by Monday, in a week

Future II Progressive
A: He will have been speaking.
N: He will not have been speaking.
Q: Will he have been speaking?
 action taking place before a certain time in the future
 putting emphasis on the course of an action for …, the last couple of hours, all day long

Conditional I Simple
A: He would speak.
N: He would not speak.
Q: Would he speak?
 action that might take place if sentences type II
(If I were you, I would go home.)

Conditional I Progressive
A: He would be speaking.
N: He would not be speaking.
Q: Would he be speaking?
 action that might take place
 putting emphasis on the course / duration of the action

Conditional II Simple
A: He would have spoken.
N: He would not have spoken.
Q: Would he have spoken?
 action that might have taken place in the past if sentences type III
(If I had seen that, I would have helped.)

Conditional II Progressive
A: He would have been speaking.
N: He would not have been speaking.
Q: Would he have been speaking?
 action that might have taken place in the past
 puts emphasis on the course / duration of the action

Conditional Sentences

Sesi kali ini, marilah belajar kalimat pengandaian dalam bahasa Inggris.

Conditional Sentences / If-Clauses Type I, II und III
Conditional Sentences are also known as Conditional Clauses or If Clauses. They are used to express that the action in the main clause (without if) can only take place if a certain condition (in the clause with if) is fulfilled. There are three types of Conditional Sentences.

Conditional Sentence Type 1
→ It is possible and also very likely that the condition will be fulfilled.
Form: if + Simple Present, will-Future
Example: If I find her address, I’ll send her an invitation.
more on Conditional Sentences Type I

Conditional Sentence Type 2
→ It is possible but very unlikely, that the condition will be fulfilled.
Form: if + Simple Past, Conditional I (= would + Infinitive)
Example: If I found her address, I would send her an invitation.
more on Conditional Sentences Type II

Conditional Sentence Type 3
→ It is impossible that the condition will be fulfilled because it refers to the past.
Form: if + Past Perfect, Conditional II (= would + have + Past Participle)
Example: If I had found her address, I would have sent her an invitation

Bagaimana contoh bentuk Simple Present Tense ???

Ini dia rumus jitu nya :
subject + auxiliary verb + main verb
do base

Ada 3 Pengecualian :

1. For positive sentences, we do not normally use the auxiliary.
2. For the 3rd person singular (he, she, it), we add s to the main verb or es to the auxiliary.
3. For the verb to be, we do not use an auxiliary, even for questions and negatives.

Look at these examples with the main verb like:
subject auxiliary verb main verb
+ I, you, we, they like coffee.
He, she, it likes coffee.
- I, you, we, they do not like coffee.
He, she, it does not like coffee.
? Do I, you, we, they like coffee?
Does he, she, it like coffee?

Look at these examples with the main verb be. Notice that there is no auxiliary:
subject main verb
+ I am French.
You, we, they are French.
He, she, it is French.
- I am not old.
You, we, they are not old.
He, she, it is not old.
? Am I late?
Are you, we, they late?
Is he, she, it late?
How do we use the Simple Present Tense?

Kapan Simple Present Tense digunakan ?

* the action is general
* the action happens all the time, or habitually, in the past, present and future
* the action is not only happening now
* the statement is always true

John drives a taxi.
past present future
It is John's job to drive a taxi. He does it every day. Past, present and future.

Look at these examples:

* I live in New York.
* The Moon goes round the Earth.
* John drives a taxi.
* He does not drive a bus.
* We meet every Thursday.
* We do not work at night.
* Do you play football?

Note that with the verb to be, we can also use the simple present tense for situations that are not general. We can use the simple present tense to talk about now. Look at these examples of the verb "to be" in the simple present tense - some of them are general, some of them are now:
Am I right?
Tara is not at home.
You are happy.
past present future
The situation is now.

I am not fat.
Why are you so beautiful?
Ram is tall.
past present future
The situation is general. Past, present and future.

Senin, 18 Juli 2011

masih seputar pelangi...

Kamuh : --- dari belahan bumi manapun, akan selalu nampak indah, meski hanya bisa memandang dari kejauhan (pelangi itu ...) ---
You and 3 others like this.(18 Juli 2011)
#
Akuh : saia tidak bisa menahan diri untuk tidak nge-like meskipun sebenarnya statusnya (sangattt) aneh... Bukankah ini sudah gelap? Apa tidak salah malam-malam lihat ada pelangi?
*nekat gag paham*
#
Kamuh : ‎:)

#
Akuh : saia senang kalo enggak dapat jempolmu. Jangan kasih jempol ya? Karena apa?? Karena saia tahu jempolmu babak habis jatuh ... :p

#
Kamuh : Ad' smkin anh, :D



Akuh : saia dibilang aneh??
Oww... Saya harus segera menuduh sesuatu/seseorang sbg penyebabnya... Tapi yang jelas bukan pelangi,karena apa ingin tahu gak? Karena saya tak pernah melihat pelangi setiap Kamuh update status melihat pelangi. Di depok,di serpong,dan di belahan bumi manapun. Aneh khan?

Minggu, 17 Juli 2011

surat balasan untuk calon ibu...

Assalamualaikum,..Wr ..Wb…….

Sebelum saya terus menggores kata dalam tulisan ini..
ijinkan lah saya memperkenalkan diri terlebih dahulu
duhai calon ibu mertuaku,…..

Perkenalkanlah saya adalah wanita biasa dengan kepribadian yang teramat biasa
dan dari kalangan keluarga yang biasa saja…



Saya bukanlah Khadijah ra, Seorang wanita yang luar biasa dalam Sejarah wanita islam…dan teramat Mulia

Saya bukanlah Aisyah ra, Seorang yang utama dalam ketakwaannya…..

Bukan pula Fatimah Az Zahra yang sangat utama dalam Ketabahannya……..

Tidak pula seperti Zulaikha yang teramat sangat cantiknya……….

Apalagi al Khansa yang sangat pandai mendidik mujahid – mujahid kecilnya…….


Tapi,..Seperti yang saya katakan,….saya hanya wanita biasa,…
Dengan ketakwaan yang biasa….
Ketabahan yang tak seberapa,…..
Dan kecantikkan saya pun tak pantas di perhitungkan….

Namun ibu,….
Saya adalah wanita akhir zaman,….
Yang punya cita – cita, menjadi wanita Sholehah…
Yang akan berusaha mengabdi pada calon Suamiku
dan juga padamu…..Calon Ibu mertuaku….
Saya bukanlah musuh mu yang hendak merebut perhatian dan kasih sayang anakmu….
Tapi saya akan menjadi rekan mu untuk memberikan kasih sayang pada anak mu..
Dan kelak pada mujahid – mujahida ku, calon cucu mu duhai ibu,…..

Engkau tak perlu khawatir ibu,…
Saya tak akan memonopoli perhatian anak mu,…
Justru saya akan menjadikannya lebih taat padamu,….
Karena akan saya katakan padanya bahwa….
engkau lah yang utama patut mendapat perhatiannya lalu saya…

Saya pun tak akan marah jika engkau membantu mengatur rumah tangga ku,..
Karena sebagai wanita yang baru menikah patutlah saya belajar darimu yang berlimbah pengalaman….
Dan engkau yang lebih tau keinginan anakmu…..

Duhai, Calon ibu mertuaku….
Saya harap kita bisa menjadi rekan yang baik,…
Karena pernikahan adalah membuka tabir rahasia antara aku dan anakmu…
Butuh banyak kesabaran untuk menghadapi banyaknya kejutan – kejutan dari perbedaan antara kami,….

Saya berharap engkau dapat menjadi penasehat jika ku sedang dalam ke alpaan…
Menjadi pendegar yang setia saat saya ingin berbagi….

Karena sekali lagi saya bukanlah siti hajar yang sabar dalam penderitaan….

Wassalamualaikum,……Wr…Wb…..


Calon Menantumu…. (Lab. BTPLDD,18 Juli 2011)
(dari Renungan dan Kisah Inspiratif)


Setelah membaca isi surat itu, saya justru mengalami kebingungan yang begitu hebatnya. kebingungan saya justru berubah menjadi kepanikan setelah membaca isi surat yang harus saya antarkan,entah kemana ini. Selama hayat dikandung badan dan sejak saya bisa membaca, belum pernah membaca surat yang sedemikian PeDe nya sampai-sampai sulit dikejar dengan daya kemampuan diri saya. Dengan puasnya diri saya menyunting surat itu, saya mengucapkan trima kasih kepada semua makhluk Alloh yang TELAH menyebabkan saya ingin lamaaaa sekali tinggal di bumi ini. terutama,udara, jangkrik,dkk.

Rabu, 06 Juli 2011

katanya, saya berubah!

katanya, saya berubah!
katanya lagi, saya sekarang sudah beda dengan yang dulu.
tertawaku tak selepas dulu,
bicaraku tak sepanjang dulu,
pakaian yang kukenakan tak seperti dulu, boleh dibilang....
katanya, semua yang ada pada diriku karena 'dia'
katanya lagi,'dia' telah berhasil menyulapku...

temans,aku berharap bahwa hari ini aku tak lepas tertawa bukan karena aku sariawan,
aku juga berharap bahwa hari ini aku tak panjang bicara bukan karena aku kekenyangan,
dan aku juga berharap bahwa hari ini pakaianku beda bukan karena aku salah kostum.
dan semua yang terjadi pada diriku bukan karena aku terkena sulap atau sihir.

temans, saksikan aku saat ini adalah diriku yang sebenar-benarnya diriku.

Selasa, 05 Juli 2011

merelakan..................

Harus banyak tersenyum malam ini......................
Merelakan waktu lalu yang ternyata sia-sia.
Merelakan kesempatan yang ternyata bukan milik saya.
Merelakan kenyamanan yang ternyata sementara.
Merelakan kekecewaan yang ternyata petunjuk-Nya.
Not easy,but, must be forced.
Kebaikan,keburukan seberat zarah pun akan diperhitungkan.
(Batan Indah Serpong, 9 June 2011)

Mathematical Logic

Determine the truth table of the statement pVqVrVs if :
p : I need U cause Allah
q : U need I
 r : she wants U
 s : U need she
(22 May 2011)



Senin, 04 Juli 2011

Aku Tak Ingin Menjadi Pelangi

Ya Rabb, If U permitteth that I'm something right, so I wouldn't be rainbow, although it is beautifull. Because nobody can catch me. I just want to be a pure water that could washed him when ''wudhu''.
Ya Tuhan, jika Engkau mengizinkan aku ini sesuatu yang baik, maka aku tidak ingin menjadi pelangi, meskipun itu sangatlah indah. Karena tak seorang pun dapat menangkap dan memilikiku. Aku hanya ingin menjadi air yang murni yang dapat membasuh 'dia' ketika wudhu.
(Pusbangtendik Kemdiknas Sawangan, 13 juni 2011)